Monday, September 1, 2008

September 1, 2008


Hari pertama Ramadhan, hari pertama di bulan September, pertama kalinya saya memulai dengan buruk.

Saya berangkat pagi ke Solo seperti biasa.

Sialnya saya nabrak anak laki-laki usia SMP/ SMA, entahlah, yang jelas saya benci ini.

Saya memang mengendarai dengan kecepatan yang dianggap tinggi oleh ibu –mungkin juga ayah - saya, sekitar 50/60 km/jam. Dari jarak sekitar 15 meter saya sudah mengklakson, tapi sepertinya yang ada di depan saya adalah gerombolan anak-anak budeg yang tidak bisa mendengar klakson saya.

Seorang anak mulanya menyeberang seenaknya –tapi setidaknya masih mau lihat kanan, kiri, depan, belakang- itu yang membuat tersangka ikut-ikutan nyebrang, hanya saja dengan style yang berbeda. Saat itu dia sepertinya bersama seorang anak kecil –entah di kiri atau kanannya, mungkin di kiri- mereka berdua benar-benar sembrono juga, nyebrang tanpa lihat-lihat belakangnya. Saya sudah mengklakson mereka, mereka nggak mau noleh juga lihat-lihat keadaan, terus nyebrang, ndlajus, bahkan saya jelas-jelas melihat dia seenaknya seolah-olah jalan itu punya moyangnya.

Saya sudah deg-degan pada 5 meter terakhir ‘nabrak, nabrak, nabrak, nabrak’ salah satu sudut batin saya berbisik begitu. ‘minggir goblogggg!’ sudut yang lain teriak begitu. ‘shit!’ satu lagi memaki-maki. Kontan saya lepas gas, dan mengerem dalam-dalam, tapi tetap saja… Brakk!

Saya menabraknya, dia terpental dan sepertinya membentur jembatan. Saya sendiri jelas ‘ngglasar’ dan jatuh ke arah kiri. Pyuk. Saya melihat bensin tumpah dari motor saya. Saya langsung berdiri –walaupun pinggang saya sakit, paha kiri saya juga sakit- tak peduli nasib Kazu, saya mendekati anak itu, dia masih belum bangun, masih ‘adududuh’ ngglasar.

Saya kesal, bingung dan takut juga waktu itu. Begitu bisa jalan saya langsung melepas slayer dan sarung tangan saya. Bahkan seperti orang ‘weng’ sepatu saya ikut saya lepas, walaupun tiga detik kemudian sepatunya saya pakai lagi. Saya buka kaca helm saya kemudian memasukkan slayer dan sarung tangan ke dalam tas dengan kesal, dan saya yakin wajah saya kelihatan sangat kesal, jutek, dan BETE.

Saya bingung sekali, mau diapakan anak itu nanti? Bagaimana kalau dia sakitnya parah? Kan dia sempat membentur jembatan. Saya takut dan siap-siap melihat darah mengalir dari pelipisnya, tapi alhamdulillah… nggak ada darah sama sekali. Tapi saya masih takut, jangan-jangan dia gegar otak. Saya bingung. Ngalor-ngidul, ke Kazu, ke anak itu. Saya bingung, bagaimana kalau nanti masalahnya panjang. Saya hanya takut menyusahkan ayah saya, takut sekali menyusahkan beliau, takut, takut, dan memang hanya itu yang saya takutkan saat itu. Saya sempat meninggalkan anak itu –karena sebenarnya saya kesal sekali dengan dia- dan melihat-lihat kondisi Kazu. Sepertinya Kazu tidak apa-apa. Sepatu saya sampai patah lapisan pengganjalnya. Ugh..

Saya hampiri lagi anak itu tadi, saya tanya “Pripun dek?” adiknya bilang “Mboten nopo-nopo mbak, njenengan terus mawon.” Mungkin waktu itu tampang jutek saya membuat dia agak takut atau segan.

Saya tinggalkan dia lagi, mengamati Kazu lagi. Waktu itu saya masih kesal sekali. Saya lihat anak itu sudah duduk, dan sepertinya memang baik-baik saja.

Saya hampiri dia lagi. Saya tanya lagi, “Pripun dek? Mboten nopo-nopo tenan to?”

Dia menjawab, “Mboten nopo-nopo mbak, mboten nopo-nopo. Njenengan terus mawon mbak”

Saya tanya lagi, “Daleme pundi?”

Dia menjawab,”Ming cedhak mriku og.”

Saya tanya lagi,”Mboten nopo-nopo to?”

Dia jawab lagi, masih duduk,”Mboten og’

Saya ke Kazu lagi, mengamati lagi sambil menjawab pertanyaan bapak-bapak, “Pripun to mbak critane wau?”

Saya jawab sambil menahan kesal dan bingung,”Adike wau nyebrang mboten ngolatke dalan Pak.” Itu saja.

Saya lihat tempat si bocah tadi duduk.

Eh, dianya sudah pergi, uihhh… kesal. Nama baik saya dan orang tua saya bisa tercemar kalau ada yang kenal saya di antara sekian banyak penonton sialan itu.

Dengan kesal saya mengamati kondisi Kazu.

Ibu-ibu bertanya,”Sepedane pripun mbak? Mboten nopo-nopo?”

Saya jawab miris,”Kadose mboten nopo-nopo.” Itu saja.

Saya coba starter Kazu, untung langsung nyala, langsung saja saya naiki Kazu. Pergiii!

Ibu-ibu tadi bilang,”Leren riyin mbak. Kok ketoke tesih ndredeg.”

Saya hanya senyum kecil, lalu pergi setelah bilang “Maturnuwun Bu.”

Sepanjang sisa perjalanan saya menyumpah-nyumpah tak jelas. Saya pegang setang dengan satu tangan, tangan kiri saya memegang paha kiri yang rasanya perih sekali.

Untung saya pakai sarung tangan, coba kalau tidak? Bisa lecet-lecet kan? Duduk di atas jok saja rasanya nggak nyaman, wong ‘boyok’ saya rasanya ‘njarem’ gara-gara kenalan sama aspal.

Huh….

Kesal….!!

Yang jelas, saya tidak akan pernah mengakui kesalahan saya lebih dari dua.

  1. saya buat Kazu jatuh lagi
  2. saya pacu Kazu dengan kecepatan tinggi (standar ibu saya)

selebihnya, NO. Anak itu yang nyebrang sembarangan.

Dia kena cium Kazu di luar kesalahan saya.

Bego!

Bego!

Bego!

Saya masih kessallll!!!!

p.s. moga-moga tu anak waras beneran dan nggak menyebarkan fitnah di muka bumi.

No comments: