Saturday, September 20, 2008

BU-BAR tau-tau bubar

Bu-bar di sekolahan rasanya beda dengan bu-bar teman-teman se-geng atau angkatan. Di sekolah semuanya prasmanan, bisa ambil sesukanya. Tapi kalau dengan teman se-geng pasti sambil nongkrong dan makannya bareng-bareng diladeni pelayannya, bisa ngobrol-ngobrol pula. Kalau dengan teman-teman seangkatan, biasanya ada kajian kecil, lalu makannya juga bareng-bareng, hidup.

Tapi –mungkin karena belum terbiasa- saya jadi merasa ada yang hilang. Iya sih, lebih efisien waktu, cepet-cepet mbatalin puasa lalu sholat magrib berjamaah. Cuma ya...di luar perkiraan saya, tadinya saya kira acara bu-bar nggak cuma makan-makan, tapi juga ada kajian dikit-dikit, ternyata nggak. Sayangnya saya nggak merasakan keberadaan kajian di bu-bar guru-guru SMP (Aneh, saya yang malas mendengarkan ceramah atau kajian apapun jadi merasa kehilangan juga, hehehe) Mungkin kajiannya sudah sekalian jadi satu dengan murid-murid SMP –saya nggak tahu pasti- waktu saya dan teman-teman PPL yang putri sedang bantu-bantu menyiapkan hidangan bu-bar. Pokoknya begitu mendekati waktu buka, tau-tau semua sudah masuk lab –tempat bu-bar- dan beberapa menit kemudian adzan dan semua mengambil minum sendiri-sendiri.

Intinya: datang, minum (teh atau es buah ambil sendiri), sholat jamaah –saya tidak bisa ikut- dan makan (silakan ambil sendiri), lalu tau-tau benar-benar bubar bu-barnya.

Ini sih buka bersama-sama asli buka bersama-sama, makan trus pulang sama-sama.

Saya agak kesal juga dengan –apa ya?- pokoknya merasa kesal lah. Banyak. Dan bukan Cuma saya, tapi orang-orang kurang pikiran lainnya pula, hehehe.

Tadinya anak-anak PPL yang perempuan sudah ngumpul di meja baris kiri dan yang laki-laki di sebelah kanan. Tapi nggak tahu gimana ceritanya tiba-tiba ada yang nyampur, ada cewek yang –mendahlui- gabung ke meja cowok. Ya… saya nyadar sih lingkungan tempat saya PPL –dan yang jelas juga saya sendiri- tergolong ‘biasa’ tanpa invasi gaya akhwat-akhwat atau ikhwan-ikhwan. Tapi ya tetep gimana… gitu. Aneh, padahal guru-guru lain kan duduk terpisah. Saya bingung. Pinginnya sih gabung juga, kan rame, tapi kok ya nggak enak. Apalagi ini acara yang berbau ‘religi’ begitu, tambah kagok dong. Saya yang tadinya berdiri di dekat meja para kaum adam –saya ada perlu dengan teman untuk meminta flasdisk dan ngomong-ngomong sedikit, itu saja- jadi celingukan.

Di depan: guru-guru sudah duduk membuat gap sendiri, dan pasti diklasifikasikan berdasarkan gender.

Di samping kanan saya: para lelaki sudah duduk siap berbuka, dan ada dua teman PPL putri, di hadapan saya –berarti di hadapan teman PPL putra dong- sudah asyik ngobrol. Di samping kiri (agak belakang) saya: ada dua orang teman saya, cewek semua, duduk di baris guru putri paling belakang.

“Eh, sini aja yuk,”kata salah satu dari teman saya yang dua itu.

Saya oke saja, kebetulan dong.

“Mbok di sini saja,”kata teman saya yang sudah nyampur –cewek.

Saya tidak melihat ada space yang cukup untuk tiga orang, kalau ada mungkin saya mau gabung setelah ‘menggeret’ teman saya yang dua tadi. Sayangnya tidak ada space, apalagi waktu itu saya masih berdiri di samping teman PPL cowok (yang saya punya urusan dengannya) –kayaknya yang paling alim pula, walau bukan ikhwan- jadi saya cuma menjawab dengan senyum saja ajakan teman saya tadi lalu cepat-cepat bergabung dengan dua teman saya di meja putri.

Sebenarnya gampang kalau mau gabung dengan meja ‘campuran’ tadi, saya cukup menarik kursi, selesailah. Tapi mana saya tahan duduk di samping cowok seperti yang saya jelaskan tadi ditambah dua teman saya malah masih ‘mencil’ di belakang baris putri. Akhirnya saya jadi trio di belakang dengan dua teman PPL putri yang terpisah dari rombongan –kayak burung migrasi aja. Begitu deh, saya yang merasa ‘biasa-biasa saja’ jadi kagok kalau harus ‘ngemix’ seperti tadi. Gimana lagi, saya memang lagi nggak berani lama-lama deket sama kaum adam, apalagi yang lebih alim dari saya, miris. Jadinya ada dua kubu deh, trio saya jadi seperti anak tiri –kata seorang teman di baris campuran.

Salah satu teman saya, Di –yang semeja dengan saya- dibuat kesal oleh seorang teman –cowok- dari meja campuran. Waktu Di mau cuci tangan, dia melewati meja mix, seorang teman nyeletuk “Anak tiri…”

Tau apa reaksi teman saya?

“Watch your mouth,”katanya.

Saya ngakak waktu Di cerita dengan kesalnya.

Saya bilang,”Kenapa nggak pake SYFM aja Di?”goda saya.

“Apa tu?”tanyanya, ingin tahu.

“Shut Your F*****n Mouth,”jawab saya –saya kan ratu swearing,hehehe, seenggaknya pernah hobi misuh lah.

Di tertawa.

Teman saya yang satunya -semeja- Li bilang,”Nanti dia nggak tau artinya Di.”

“Biar dia cari di kamus sendiri,”sahut Di santai.

Jadilah saya ketawa-ketiwi lagi, berusaha menahan diri waktu sense of swearing-nya dan saya kumat.

Hal yang paling membuat saya kesal adalah satu: asal ngomong. Saya diajak ikut ‘mix’ tapi dua teman saya masih ‘mencil’ apalagi ajakan gabung tadi nggak lihat-lihat space, enak saja. Itu sih seperti mengajak teman naik bis, dianya sudah masuk, temannya masih di depan pintu tapi bisnya sudah penuh. Ngomong doang dong! I don’t like it very much. Niat nggak sih?

Hal yang mengesalkan kedua: saya mendengarkan “Eh, mbok itu diajak bicara, kasihan,”seorang teman berkata entah pada siapa. Jelas yang dikasihani adalah trio mencil. Maaf ya, nggak butuh kasihan-kasihan segala. Kami eh saya ding lebih butuh ‘pikiran’ daripada sekedar omong kosong seperti itu. Saya –entah kenapa-menganggap apa yang dikatakan oleh teman saya –yang mungkin maksudnya ungkapan sympathy- sebagai omong kosong belaka.

Saya juga kesal pada seseorang personally –dan sungguh, bukan cuma saya yang merasakannya, hampir semua teman PPL yang putri lho- gara-gara kelakuannya yang nggak cetho.hampir teman PPL putri yang puasa tadi berbuka dengan bangkai tersangka –maaf, maksudnya ‘ngrasani’. Asli, saya sebal sekali dengan kelakuannya, tapi ya sebisa mungkin keep silent dulu. Dindem deh. Lain kali ngomong langsungnya. Bayangkan, seorang teman PPL -sebut saja Hil- tidak bisa ikut bu-bar karena kesulitan transportasi, sedangkan dia –teman yang mengesalkan, sebut saja Ni- jelas-jelas searah dan melewati jalur rumah Hil tapi dianya ogah-ogahan ngasih tumpangan. Bukan ogah-ogahan, tapi memang nggak niat. Padahal kemarin-kemarin sempat nawarin Hil bareng, tapi mendekati hari H kok jadi leda-lede nggak cetho. Saya sempat tanya waktu masih jam sekolah tadi –pragmatic ni- “Ni Ni… Kamu nanti datang kan? Nek datang kan Hil bisa sekalian mbonceng.”

Jawabnya, “Insyaallah.” Sambil molet-molet nggak cetho.

Jelas insyaallah-nya dia nggak bisa dipegang, njawab saja niat nggak niat. Saya juga langsung nyahut,”Wah, nggak bisa dipegang.” Sayangnya dia nggak dengar, hehehe.

Teman saya Hil sudah kelihatan menunjukkan hasil negative, maksudnya dia nggak ngarep bantuan atau kebaikan dari Ni lagi.

Tapi… Ni datang juga. Hil jelas nggak bisa datang karena nggak ada bis waktu pulang. Sebelumnya ada teman saya –sebut saja Ri- menawarkan bantuan, dan kelihatannya dia lebih bisa dipegang omongannya, tapi Hil tetap nggak enak jadi ya...nggak datang karena nggak mau merepotkan Ri yang rumahnya jauhhh.

Itulah sebabnya hampir semua teman PPL saya yang putri kesal sama Ni. Habis…cowok kok nggak tegas, nggak jelas, ngomong doang, seenaknya. Yang jelas, nggak solider sama teman itu lah. Ugh… kalau saya cowok, mungkin saya akan malu dengan kelakuan sesama kaum adam yang seperti itu.

Bebek dipegang lehernya, kucing dipegang tengkuknya, kelinci dipegang telinganya, kalau manusia yang dipegang kata-katanya, iya nggak.

Ni sempat jadi bulan-bulannan ketua saya, pokoknya dia dimandiin dengan kata “salah” oleh ketua saya. Yang lainnya sih ngikik saja mendengarnya. Saya juga sempet nyletuk sih, tapi nadanya bercanda, “Kowe k iwis salah, mbuh kowe ono opo ora tetep salah Ni.”

Nggak tahu deh ‘siraman salah ala ketua’ manjur atau tidak, nyilet atau tidak, saya sih masa bodo. Saya masih suka ‘nyilet’ tapi cuma orang-orang tertentu saja yang jadi korbannya,hehehehe.

No comments: