Monday, September 1, 2008

Ananda Ardi

Ananda Ardi …………Sulistyawati

Adalah nama adik perempuan saya.

Ibu saya ingin menamai putri terkecilnya dengan nama Ananda. Kata beliau nama itu adalah nama yang manis, seperti doanya supaya kelak dia bisa jadi anak gadisnya yang manis dan lembut, tidak seperti kakak perempuannya yang tidak ada bau ‘perempuan’nya.

Saya berkeras pokoknya harus ada nama Ardi, terserah di mana, mau di depan sebagai first name, mau di tengah atau di belakang yang penting saya bisa memanggilnya Ardi jika nanti saya berhasil mengajaknya memanjat pohon. Nama saya berarti langit, karena itu saya ingin memberinya nama Ardi yang berarti bumi. Kan lengkap jadinya, saya si sulung jadi langit, si bungsu jadi bumi, dan si cowok tengah yang jadi anugerah bagi keduanya. Ardi mungkin bukan nama yang maskulin dan sama sekali nggak ada cewk-ceweknya. Tapi saya ingin dia kompakan dengan saya. First name saya juga tidak ada ‘cewek-cewek’nya, dia juga dong… toh artinya juga bagus… bisa bumu, bisa gunung –tapi saya pilih bumi.

Sulistyawati …kalau tidak salah adalah nama yang diusulkan bude saya. Saya sebenarnya tidak suka dengan nama itu, tapi ya biarlah, kasihan dia juga. Bude saya terobsesi dengan anak perempuan, semua anaknya laki-laki.

Tapi saya Cuma mau adik saya bernama Ananda Ardi, tanpa nama ketiga itu, kalau mau nama ketiga ya…selain itulah…

Saya lupa kapan adik saya lahir. Saya hanya ingat dia lahir bulan Agustus. Dia keluar lebih awal dari rahim ibu saya di tengah kondisi yang sama sekali tidak layak baginya. Ibu saya mengalami trauma pasca gempa dan itu berpengaruh pada kandungannya. Beberapa hari sebelum melahirkan, ibu saya mengalami mimisan hebat dan langsung dibawa ke rumah sakit. Tak ada seorangpun memberitahu saya tentang kejadian itu. Begitu pulang, saya langsung diantar ke rumah sakit untuk membesuk ibu.

Beberapa hari saya menunggui ibu bergantian dengan ayah, adik saya masih sekolah jadi tidak bisa ikut menunggui. Setelah beberapa hari dirawat, ibu saya melahirkan dengan normal.

Saya sempat melihat adik saya yang masih merah. Saya melihat bayi mungil yang mulus, cantik, dan tidak ada cacat di tubuhnya. Sungguh, saya yang tidak suka anak kecil sekalipun bisa mengatakan dia bayi yang lucu. Adik saya dimasukkan di ruang inkubator. Saya hanya bisa melongok-longok sambil berharap agar adik saya bisa segera keluar dari kotak inkubator.

Saya lupa berapa hari selangnya, tiba-tiba saya dipanggil perawat dan diberitahu bahwa adik saya sedang dalam masa kritis. Terang saja saya terkejut. Kenapa begitu mendadak? Susah payah saya menahan diri agar tidak menangis di depan orang lain waktu itu.

Begitu keluar dari ruangan, saya langsung terduduk di depan pintu bangsal. Waktu itu saya masih bersama mantan saya, saya benar-benar tidak bisa menahan ganjalan di tenggorokan saya dan menangis di depannya. Susah payah saya menahan diri. Saya tidak ingin membuat ibu saya sedih waktu itu.

Beberapa hari kemudian, saya menemani ibu saya pulang ke rumah dengan mobil sewaan. Ayah stand by di rumah sakit karena Ardi saya masih di dalam inkubator dan harus ada keluarga yang menunggui.Waktu itu ibu sudah tahu keadaan Nanda-nya yang sedang kritis. Beliau bilang pasrah saja. Sepanjang jalan pulang saya tidak bisa sedikitpun merasa tenang.

Benar saja, beberapa menit setelah sampai di rumah ayah menelpon saya. Beliau bilang kalau Nanda sudah pergi.

Betapa sedihnya bila mengingat masa-masa Ardi masih belum lahir. Sering saya menempelkan telinga ke perut ibu saya, mengajaknya bicara. Saya sudah membayangkan betapa asyiknya mendandani adik perempuan saya nanti.

Betapa orang tua saya takut akan penolakan saya dan adik saya –yang ternyata tidak terbukti sama sekali- sampai-sampai mereka berdua bicara dengan sangat hati-hati pada saya bahwa saya akan punya adik lagi. Mereka takut kalau saya akan malu punya adik lagi saat usia saya sudah 19.

Adik perempuan yang sudah saya tunggu-tunggu untuk menemani ibu saya di rumah sudah tidak ada. Saya bahkan belum sempat menyentuhnya. Bahkan di saat terakhir pun saya tidak punya keberanian untuk melihatnya. Saya hanya bisa sembunyi waktu itu. Adik laki-laki saya ikut menangis waktu. Kami berdua menangis. Kami yang dikenal sebagai anak yang ‘keras’ menangis saat itu.

Memang Ardi belum sempat mewarnai hari-hari kami, tapi kami sudah menantinya, menyayanginya. Bayangan tiga bersaudara yang kompak bikin pusing orang tua. Kami membayangkan betapa ramainya jika nanti bertengkar bertiga. Lucu.

Saya tidak tahu kapan saya bisa mengingatnya tanpa harus meneteskan air mata.

Saya masih menangis bila mengingatnya. Saya tak lagi ingat kapan dia datang dan kapan dia pergi. Pernah saya berusaha melupakannya dan menghapusnya dalam ingatan saya dengan kejam, tapi tetap tidak bisa.

Hanya teringat namanya saja sudah bisa membuat saya susah payah menahan air mata. Bahkan setelah saya berjanji tidak akan menyia-nyiakan air mata, saya tetap sulit untuk tidak menangis jika teringat pada Ardi.

Ya Allah maafkan hambamu ini. Bukannya aku tidak bisa merelakannya, sungguh aku ingin sekali dia tenang di sana.

Mungkin saya memang ditakdirkan untuk menjadi satu-satunya anak perempuan dalam keluarga saya, seperti halnya adik saya sebagai satu-satunya anak laki-laki orang tua saya.

Mungkin blog saya kali ini cengeng dan tidak jelas, loncat sana-sini. Saya hanya ingin merasa sedikit lega, saya sudah bosan memendam puluhan kata ini di hati saya. Kasihan hati saya sudah kerja keras menetralkan racun masih harus ditambah beban tak terlihat seperti ini.

2 comments:

F.Dian Ardi Wulandari said...

i thought you wanted to give her 'ardi' name beacuse of me=)
perhaps, it will be better for her to leave you sooner,rie.

Anonymous said...

thanx atas komentmu di blogku ya ri, salam kenal,besok km akan menjadi sorang ibu bagi anak2 mu,aku baca seluruh blogmu,tolong ubah ya ri sikapmu,kata2mu. kata2 merupakan doa, biasakan berkata baik ya terutama bagi dirimu sendiri,aku yakin km punya hati yamg lembut.so, ambil hikmahnya,doakan ortu dan adikmu, jadilah kakak yang baik, jaga adikmu yang satunya ya.