Ini subjektif sekali, "suka-suka gue ngejudge deh."
Gosh! How terrible high-heels shoes is! I felt terrible pain in my toes and fingers.
Tolooong! Sakit sekali rasanya kalau pakai sepatu hak tinggi. Maybe I wore the wrong size shoes. Normally, 38-size fits my feet, but not for these high-heels, 38 is still too tight. Or maybe… because of the various standards of size?
Suer deh, high-heels berasa kayak high hells. My friend said that I looked so different this day. Hahaha, maybe yes gal! white and black suits. Long black skirt, white shirt, black veil, and a very high-high-heels. How girly I am! But, everybody looked different this day.
Another hell instead of high heels: some boring speakers. They said bla and bla, and the results are bla. They are NOT consistent to their previous information at all. We should have ICT-based method of teaching, while the fact is that we –PPL students- have to write our report in handwriting papers. What ICT that is?! Bullshit.
Hare gene nulis tangan tegak bersambung? Nggak jamannya kaleee. Trus yang tadi bilang ICT-ICT larinya ke mana?
We got a manual for our teaching practice in the partner school. Again, it is USELESS. The representative of PPL committee said that there was little relevant information on the manual, while the rest (most) were NOT relevant anymore.
Hell!
What the books were printed for?! They didn’t even have the time to revise the year of the book. We are in 2008 now, but we got a book with the year of 2007?!
They just talked about professionalism. Then, where the hell professionalism they just promoted before? I think they just swallowed it soon after they had given us various bullshit.
Apanya yang dahsyat coba kalo ratusan buku yang sama sekali tidak relevan dicetak? Dahsyat buang-buang duitnya?!
Apanya yang luar biasa kalau PPL aja kesannya serabutan plus dadakan dan nggak jelas begitu? Apa term “secepatnya” masih relevan? Itu sih sama aja orang pake insyaallah tapi yang paling bisa dipegang Cuma 1% negatifnya.
Ini sih luar biasa konyolnya.
“You are not allowed to leave your school no matter the reason,” he (committee) said.
“Sir, how about our consultation in campus? We have to make a plan for our next credit with our academic consultant on 13,”my friend asked.
“Ow, then, you may leave, because that is very important for your lecture,” he answered.
Again, is it a clear and consistent rule?
Bulsshit lagi, katanya nggak boleh meninggalkan PPL di sekolah apapun alasannya –mau kuliah, mau seminar, mau apa kek-, tapi begitu ditanyain KRS-an jawabannya ganti. Gila apa ninggalin seminar. Kalau kayak gini, gimana caranya jadi orang berkarakter yang cerdas kalau seminar penting aja ditinggal. Gimana bisa cerdas coba?
Gimana mau berkarakter kalau contohnya aja sama sekali nggak punya karakter yang diidam-idamkan para pembuiat visi dan misi kampusnya? Apa plin-plan itu salah satu karakter yang dimaksud?
Kalau begitu nggak salah dong kalau saya dan beberapa teman memperkuat karakter pembangkang? Katanya berkarakter kuat?
Nggak salah juga dong kalo kita mengasah kemampuan kancil kita? Katanya cerdas?
That was what the so called mental
Yang saya dapatkan dari pembekalan PPL adalah penguatan kemampuan komplain dan misuh. Untung saja saya sudah sarapan pagi, kalau tidak mungkin prosentase pisuhan saya mencapai 20% dari semua kata yang saya keluarkan hari ini.
Ampun deh. Benar-benar memprihatinkan PPL-nya, seperti asal jalan dan kejar deadline aja. Ini bukannya ‘sangat disesalkan’ lagi, tapi ‘sangat menyedihkan sekali’. Saya kira vpara penanggung jawab atau penyelenggara PPL punya kemampuan lebih dalam memanajemen program, tapi kok nyatanya nggak ada yang jelas.
Yang jelas hanya satu yaitu ketidakjelasannya. Yang profesional juga cuma satu: ketidakprofesinalannya. Intinya ya mungkin seperti ini di mata saya, kebaikan dari keseluruhannya hanya satu: baik sekali keburukannya. Sama aja, kelebihannya juga Cuma satu, yaitu kekurangannya.
No comments:
Post a Comment